Sabtu, 24 Januari 2009

Demi Lewotana


Petronela Peni Sanga, AMK, SKM

Berprestasi Demi Soga Naran Lewotana

GEDUNG Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Kamis (5/12) siang. Panas matahari terus membakar. Sesosok wanita berambut ikal turun dari mobil sedan ditemani seorang pria. Sosok wanita itu tak lain Petronela Peni Sanga, AMK, SKM. Bu Nela, begitu sehari-hari disapa, didampingi sang suami, Drs Herman Yosef Loli Wutun, MBA.

Hari itu, Petronela Peni Sanga mengikuti Wisuda Sarjana dan Diploma Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat (STIKes) Mitra Ria Husada Jakarta di Gedung Sasono Langen Budoyo, kompleks TMII, Jakarta Timur.

Ada kebanggaan yang membuncah di hati Bu Nela. Pasalnya, perawat kelahiran Kolimasan, Pulau Adonara, Flores Timur (Flotim), 25 November 1959 ini juga meraih prestasi akademik membanggakan.

“Saya tak menyangka menjadi Wisudawati Terbaik I Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat. Informasi itu saya baru terima saat kami gladi bersih sehari sebelum wisuda. Sempat berpikir tak beritahu suami dan anak-anak” kata Bu Nela kepada Flores Pos di rumahnya, di Kota Wisata, Cibubur, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.

Ibu empat anak: Mawar, Rose, Pedro, dan Mathilda Wutun, ini berpikir mungkin suami dan anak-anaknya tahu sendiri saat wisuda. Ya, sekalian buat kejutan. Tapi, ia tak sampai hati sehingga malam sebelum wisuda, prestasi akademik membanggakan itu ia bocorkan kepada mereka.

“Mereka kaget, tak menyangka saya jadi wisudawati terbaik pertama di jurusan. Bagi saya, prestasi ini menjadi kebanggaan berkat doa dan dukungan keluarga. Saya bisa mengangkat nama daerah dan tempat tugas. Juga menjadi kebanggaan orangtua dan saudara-saudara karena saya ikut mengangkat nama kampung halaman. Orangtua di kampung bilang soga naran lewotana,” lanjut Bu Nela.

Bu Nela adalah satu dari 302 wisudawan/wisudawati STIKes Mitra Ria Husada yang berhasil diwisuda saat itu. Mereka terdiri dari 12 wisudawan/wisudawati Sarjana Kesehatan Masyarakat dan 59 wisudawati Diploma IV Kebidanan serta 231 Diploma III Kebidanan.

“Secara pribadi maupun sebagai Ketua STIKes bersama seluruh staf, karyawan, dan civitas akademika saya sampaikan terima kasih kalian semua menyelesaikan studi dengan prestasi membanggakan. Bekal ilmu yang kalian terima terus dikembangkan. Kemudian diabadikan bagi pelayanan kesehatan untuk bangsa dan negara,” ujar Ketua STIKes Mitra Ria Husada Prof Dr dr Buchari Lapau, MPH.

Tugas di Kupang
Sehari-hari, Bu Nela bertugas di Rumah Sakit Umum (RSU) Prof Dr WZ Yohannes Kupang. Statusnya, pegawai negeri sipil (PNS). Namun, ia mengikuti suaminya, Herman Wutun, yang kini menjabat Ketua Umum Induk Koperasi Unit Desa Indonesia (Inkud) periode kedua dan berkantor di Graha Inkud, kawasan Warung Buncit, Kecamatan Mampang, Jakarta Selatan. Nah, di sela-sela mengikuti suami Bu Nela sepertinya tak mau kehilangan momentum berharga selama tinggal di Jakarta terutama dalam menimba ilmu.

“Selain mengurus suami dan anak-anak, saya pikir mungkin bisa sambil kuliah ke jenjang strata satu. Setelah dipertimbangkan bersama, kami mencari kampus yang berada dekat tempat tinggal. Selain tak mengganggu tugas rumah dan pendidikan anak-anak, saya mendaftar dan diterima di STIKes Mitra Ria Husada. Kebetulan jalur angkutannya juga sangat mudah dan terhindar kemacetan,” cerita perawat yang ramah ini.

Pilihan untuk lanjut kuliah S-1 juga atas ijin dari RSU WZ Yohannes Kupang. Jauh sebelum itu, pada 2006 Bu Nela langsung menghadap Direktur RSU WZ Yohannes dr Yovita Anike Mitak, MPH. Pertimbangannya, jika ia bekerja sebagai perawat maka kemungkinan ditempatkan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat sesuai domisili suaminya.

“Saya meminta ijin kuliah saja. Hal ini saya pikir tepat karena apa artinya jika bekerja tetapi mengganggu tugas suami dan anak-anak. Saat itu direktur mengiyakan dan saya langsung melengkapi persyaratan administrasi yang diperlukan. Ya, saat itu saya lebih mantap memilih kuliah,” cerita Bu Nela.

Ilmu Sangat Penting

Bu Nela mengakui, pilihan kuliah ke jenjang S-1 tidak berpengaruh pada kenaikan pangkatnya. Baginya, kuliah lebih termotivasi menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi masa depannya. Apalagi, kuliah juga tak mengenal usia atau life long education. Melalui pendidikan, banyak ilmu pengetahuan dan teknologi bisa dipelajari.

“Sejak sekolah di kampung, saya selalu dinasehati orangtua bahwa ilmu pengetahuan itu sangat penting. Siapapun, baik laki-laki maupun perempuan punya kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Itu yang selalu ditanamkan orangtua saya,” ujar perawat yang terlahir sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara pasangan Philipus Ola Padji dan Maria Liwat Tena.

Nasehat orangtua itulah yang mungkin dilanjutkan Bu Nela kepada putra dan putrinya. Anak sulungnya, MB Mawarni G Wutun (Mawar) saat ini sedang merampungkan studi Magister (S-2) pada Program Pascasarjana Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atmajaya Jakarta. Anak kedua, Hermawati Rose LT Wutun (Rose) kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Trisakiti (Usakti) Jakarta.

Sedangkan anak ketiga, Pedro Sarmento Aster Pehan Wutun (Pedro) sedang sekolah di sebuah SMA di kota Kupang. Kemudian si bungsu, Mathilda Oliander NM Wutun (Mathilda) sekolah di sebuah SMP di Jakarta.

Bu Nela merasa bangga. Selama di bangku kuliah, banyak ilmu dan pengetahuan baru diperoleh dengan mudah. Perawat yang satu ini juga lebih gampang beradaptasi dengan teknologi komunikasi melalui internet.

“Kalau dulu masih gagap teknologi, saat kuliah sedikit terobati. Saya bisa memperoleh banyak informasi lewat internet. Banyak bahan kuliah saya akses dari internet kemudian anak-anak ikut membantu menerjemahkan. Suami juga sangat membantu membelikan literatur yang saya butuhkan,” katanya.

Semua itu sangat membantunya selama kuliah. Tak ayal, Bu Nela sepertinya mau membayar dukungan keluarganya melalui prestasi akademik hingga ditetapkan sebagai Wisudawati Terbaik I di jurusan Kesehatan Masyarakat. Perawat yang satu ini menulis skripsi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyakit Diabetes Melitus langsung di bawah bimbingan Prof Dr dr Buchari Lapau, MPH. Ia berhasil meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,46. Uang Rp. 1 juta juga berhak ia terima langsung dari Prof Buchari di sela-sela acara wisuda yang dihadiri ribuan undangan dan tamu. Proficiat, Bu Bidan! (Ansel Deri)

Ket Foto: Petronela Peni Sanga, AMK, SKM dan suaminya, Drs Herman Y. L. Wutun, MBA berfoto bersama usai wisuda. Foto: Ansel Deri

Jumat, 09 Januari 2009

Pusat saja Tidak Mau

Pusat Tak Perkenankan Tambang di Lembata
Oleh Ansel Deri


Pihak Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia mendapat sepucuk surat dari Pemerintah Pusat yang menyatakan, eksploitasi tambang di Lembata tidak diperkenankan. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tidak terpancing oleh berbagai macam hal yang memperlemah komitmen mereka membela tanahnya.
“Satu hal yang bisa saya katakan adalah masyarakat diharapkan bertahan dengan komitmennya untuk tetap menolak. Kita dari JPIC OFM Indonesia tetap berusaha bersama Pater Vande (Pastor Marselinus Vande Raring, SVD dari JPIC SVD Ende) mendampingi masyarakat,” kata Provinsial OFM Indonesia Pastor Paskalis Bruno Syukur, OFM usai diskusi dan pemutaran film dokumenter tentang tambang di Kabupaten Manggarai di aula Marsudirini, Matraman Raya, Jakarta Timur, Minggu (14/12).
Pastor Bruno mengharapkan, pemerintah Kabupaten Lembata yang dipilih oleh rakyat memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap aspirasi masyarakat, khususnya tempat di mana tambang itu akan dilaksanakan. Jelas bahwa aspirasi masyarakat tidak menghendaki seperti itu sehingga pemerintah daerah dengan hati yang jujur dan tulus menerima aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah tidak boleh memaksakan masyarakat menjalankan apa yang diadakan oleh perusahaan itu.
“Saya mengharapkan agar pemerintah sendiri sadar bahwa mereka dipilih oleh masyarakat. Dan sebenarnya juga mereka menjalankan tugas untuk memperhatikan kepentingan masyarakat sehingga memperhatikan masalah ini. Jadi tidak terus memaksa padahal masyarakat sendiri tidak mau,” kata Pastor Bruno.
JPIC OFM Indonesia, lanjutnya, juga pernah menyampaikan kepada Pemkab Lembata agar berkonsentrasi mengelola potensi di bidang pertanian atau kelautan guna mensejahterakan masyarakat. Artinya, JPIC OFM tidak sekadar menolak tetapi juga sudah pernah memberikan alternatif lainnya kepada pemda dengan mempelajari berbagai potensi yang dimiliki daerah itu.
“Kita tahu Lembata adalah daerah pertanian. Masyarakat sebenarnya bisaa hidup dari situ. JPIC OFM Indonesia mengangkat hal ini. Bahwa masyarakat bisa hidup dari sektor pertanian atau kelautan yang dimiliki,” tandas dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.
Menurutnya, kalau mau memperhatikan kesejahteraan rakyat, mestinya Pemkab Lembata bergiat mengolah potensi pertanian dan perikanan karena tidak merusak alam dan tidak bertentangan dengan hati nurani masyarakat yang mau menjaga ibu bumi mereka sebagai bagian kehidupannya sendiri. JPIC OFM sudah memberikan alternatif pemikiran itu.

Sikap Gereja Lokal

Pastor Bruno mengungkapkan, sejak awal pihak Gereja lokal tidak berani mengambil satu sikap jelas karena mungkin informasi yang berat sebelah. Menurutnya, kini saatnya gereja lebih belajar masalah-masalah sosial yang ada dengan data-data yang cukup akurat sehingga dapat mengambil sikap yang pasti menghadapi proses-proses baru seperti rencana eksploitasi tambang.
“Gereja perlu belajar terhadap data-data yang berkembang dalam masyarakat. Apalagi terkait dengan masalah pertambangan, misalnya. Dengan belajar maka seruan atau imbauan moral kita juga punya data obyektif. Dari sudut ini, menurut saya, kita akan merubah sikap tatkala kita sungguh-sungguh masuk ke dalam masalah sosial kemasyarakatan tanpa melepaskan dasar iman kita. Saya pikir, di sinilah kekuatan gereja seperti di Lembata,” kata Pastor Bruno.
Gereja, katanya, semakin sadar akan implikasi sosial dari iman kepercayaan atau liturgi yang punya impak sosial. Bahwa kita harus terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Liturgi tak hanya liturgi di gereja, tetapi liturgi yang malah menguatkan orang untuk menghadapi persoalan-persoalan yang bertentangan dengan keadilan dan perdamaian.
“OFM Indonesia hadir untuk menunjukkan bahwa kami berpihak kepada masyarakat yang tak berdaya sebagaimana teladan Santo Fransiskus Asisi,” kata anggota Dewan Jenderal OFM Indonesia Pastor Gabriel Maing OFM, menambahkan. Pastor asal Leragere ini juga pernah bersama rekan-rekan OFM lainnya terjun langsung di Lebatukan dan Kedang untuk melihat dari dekat masyarakat yang diadvokasi.
Sebelumnya, Sr Hironima, SSpS meminta masyarakat Lembata tetap mengawal rencana investasi tambang di daerah itu. Pasalnya, berbagai upaya terus dilakukan untuk mempengaruhi masyarakat menerima rencana itu. Masyarakat juga diharapkan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
“Masyarakat tetap solid dan tak terpengaruh pihak-pihak lain yang terus mempengaruhi masyarakat menerima rencana investasi tambang. Apalagi, dengan iming-iming rumah mewah atau beasiswa dari investor,” kata Sr dr Hironima, SSpS, biarawati asal Kedang.
Sedangkan putra Lembata Jose Kotan mengingatkan Pemkab Lembata berpikir realistis membangun daerah itu dengan mengembangkan sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. Dalam konteks rencana investasi tambang yang mendapat penolakan dan perlawanan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat ditinggalkan begitu saja. “DPRD Lembata mengingkari posisinya sebagai penyambung lidah rakyat yang telah memilih mereka. Sebaiknya tambang dibatalkan,” kata Jose, lulusan Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta.*

Misa Tambang

Misa dan Pemutaran Film Tambang di Manggarai

Oleh: Ansel Deri

Jakarta, Flores Pos
Ratusan warga masyarakat Manggarai mengikuti Misa di aula Marsudirini, Matraman, Jakarta Pusat, Minggu, 14/12. Keseluruhan Misa bertema Mai Mori Ga, Gerak Koe Nai Dami itu dalam bahasa Manggarai. Setelah Misa dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter berjudul Rahim Bumi yang Terkoyak: Investasi Tambang Mangan yang Menghancurkan oleh tim Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC)–OFM Indonesia.
Misa konselebrasi dipimpin Direktur JPIC OFM Indonesia Pastor Dr Peter C Aman, OFM bersama Provinsial OFM Indonesia Pastor Paskalis Bruno Syukur, OFM, staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Pastor Prof Dr Alex Lanur, OFM, dan dua staf JPIC OFM Indonesia Pastor Mikhael Peruhe, OFM, dan Pastor Kristo Tara, OFM.
Provinsial OFM Indonesia Pastor Bruno Syukur OFM menyampaikan rasa terima kasih atas kehadiran masyarakat Manggarai dalam Misa dan pemutaran film dokumenter oleh JPIC OFM Indonesia terkait tambang di Manggarai.
“Kehadiran umat asal Manggarai ini sangat penting guna mengenangkan inti dasar hidup sebagai orang Manggarai dalam konteks iman kepada Yesus Kristus. Satu hal yang harus disadari bersama bahwa iman itu, bagaimanapun juga punya pengaruh dalam hidup sehari-hari untuk cara pandang kita terhadap dunia ini. Juga cara pandang kita terhadap alam semesta,” kata Pastor Bruno Syukur, OFM.
JPIC OFM berusaha mengajak warga masyarakat asal Manggarai dan dari mana saja yang cinta akan manusia, tanah dan bumi untuk senantiasa bersama-sama memberi perhatian kepada sesama dan alam, terutama dalam konteks keadilan bumi di Manggarai.
“Mudah-mudahan melalui film ini kita memperoleh suatu informasi yang baik dan benar. Kemudian menyebarkan kepada saudara dan saudari kita dari Manggarai di mana saja mereka berada,” lanjutnya.
Selain warga Manggarai, hadir pula sejumlah tokoh dan intelektual serta mahasiswa Manggarai di Jabodatabek. Antara lain Piet Slamat, Agustinus Dawarja, Mikael Rengka, Save Dagun, Boni Hargens, dan lain-lain.
Sebelumnya, saat berlangsung pertemuan informal JPIC OFM dan kelompok Tenang Tanage di Lantai 3 aula Paroki Kramat, Jakarta Pusat, Minggu, (16/11) lalu, dikeluarkan seruan untuk melawan dan menghentikan tambang di Manggarai.
Pastor Darmin Mbula, OFM dari JPIC OFM Indonesia mengatakan, guna menindaklanjuti diskusi soal tambang di Manggarai akan diselenggarakan seminar tambang yang lebih besar lagi pada 17 Desember mendatang di Ruteng.
“Seminar ini diselenggarakan atas kerja sama Keuskupan Ruteng, JPIC OFM Indonesia, JPIC SVD Ruteng, dan SSpS dengan jumlah peserta sebanyak 700 orang. Para peserta berasal dari daerah-daerah di Flores dan pulau-pulau sekitar. Direncanakan, seminar berlangsung di aula Assumpta Ruteng,” lanjut Pastor Darmin Mbula, OFM.
Seminar menghadirkan sejumlah pembicara dari Jakarta. Antara lain Wakil Ketua Komisi VII DPR RI yang juga mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Dr Alexander Sonny Keraf dan bekas Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang Masyarakat (Jatam) Ir Chalid Muhammad.

Sultan di Ende

Sultan dan Ratu Hemas Disambut Hangat Warga Ende
Mayoritas Mengayomi Minoritas

Oleh Hieronimus Bokilia


Kedatangan Sri Sultan Ha­meng­ku Buwono X dan Sri Ratu Hemas di Ende disambut hangat masyarakat Kota Ende. Ribuan warga turun ke jalan mengelu-elukan Sri Sultan dan Sri Ratu Hemas saat berpawai menuju Lapangan Pancasila setelah tiba dan dijemput di Bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende. Sri Ultan Hamengku Buwono X dan Sri Ratu Hemas saat berkun­jung ke museum Tenun Ikat di Jalan Soekarno juga dinobatkan sebagai warga kehormatan masya­rakat Ende Flores yang ditandai pengenaan pakaian adat lawo lambu dan luka lesu kepada Sri Sultan dan Sri Ratu Hemas.
Dalam kunjungan ke Ende, Selasa (25/11) ini, Sri Sultan bersama rombongan terlebih da­hulu mengunjungi situs Bung Karno. Sultan menitipkan pesan di dalam buku tamu yang berbunyi mohon untuk tetap dijaga seja­rah Bung Karno yang dapat memberi inspirasi sifat kejuang­an untuk bangsa Indonesia.

Bukan Tempat Pembuangan Saja
Sultan Hamengku Buwono X dalam orasinya di hadapan ribuan warga Kota Ende menga­takan, Ende bukan hanya seba­gai tempat pembuangan dan seja­rah bagi Bung Karno tetapi men­jadi motivasi bagi semua. Dari rumah yang sederhana, kata Sultan, tumbuh roh dan jiwa di da­lamnya untuk bangsa guna mena­tap ke depan. Dari pengasingan ke Ende itu, perjuangan bangsa di­lanjutkan.
Sultan mengatakan, di Yogya­karta, beliau sebagai pemuka adat dan selain sebagai kepala adat juga merangkap sebagai Gubernur DI Yogyakarta. Dikatakan, pada tanggal 28 Oktober 2008 lalu, masyarakat Yogyakarta dan ma­sya­rakat dari provinsi lain datang ke Yogyakarta dan meminta supa­ya bersedia mencalonkan diri untuk tahun 2009 pada waktu pemilihan presiden. "Saat itu saya sampaikan kesediaan untuk jadi calon presiden."
Namun, katanya, kehadiran di Ende bukan untuk kampanye apa­lagi telah dikenakan kepadanya pakaian adat sebagai bentuk ke­arifan lokal masyarakat. "Ini roh dan identitas budaya dan saya pakai maka saya menjadi bagian dari anda semua. Ini identitas budaya bukan identitas politik."
Dijaga dan Dilestarikan
Menurut Sultan, kearifan local wajib dijaga dan dilestarikan serta dihargai agar tetap tumbuh dan berkembang dalam mem­bangun karakteristik anak bangsa. Sebelum republik ini ada, masya­rakat telah memiliki tradisi, etnik sudah ada termasuk Ende dengan tradisi budaya yang dilahirkan oleh para pendahulu. Pada masa itu, para pendahulu termasuk penda­hulu di Ende telah berjuang dan menyatakan diri sebagai satu bangsa dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
Dikatakan, Indonesia memiliki roh perbedaan tetapi roh perbe­daan ini bukan menjadi kelemahan tetapi sebagai kekuatan bangsa untuk bersatu. Pancasila di dalam salah satu silanya menyatakan Persatuan Indonesia yang di dalamnya ada pemahaman perbe­daan. Sebagai bangsa, kata Sultan, tidak ada etnik manapun yang mendominasi bangsa ini. Tidak ada agama yang mendominasi dan menjadi mayoritas. "Karena begitu ada dominasi akan ada konflik. Perbedaan harus dihargai dan yang mayoritas harus mengayomi yang minoritas dan dalam pluralisme yang terpenting adalah menghargai hak-hak orang lain, etnik dan agama lain. Sekali lagi tidak ada yang mendominasi."
Menurutnya, etnis bangsa tidak ada yang mayoritas dan minoritas namun kebetulan ada etnik terten­tu yang jumlah penduduknya lebih banyak dibanding etnik lain yang lebih sedikit. Yang lebih sedikit, kata Sultan, akan merasa aman, damai dan tenteram karena yang besar melindungi dan mengayomi.

Potensi Luar Biasa
Terkait keberadaannya di Ende, Sultan mengatakan, sepintas saat hadir di Ende ia melihat kondisi alam yang ada memiliki potensi yang luar biasa, potensi yang terpendam. Dengan potensi yang demikian besar, katanya, tidak semestinya pesimistis untuk men­sejahterakan masyarakat yang adalah anak bangsa. Potensi yang ada harus ditumbuhkan untuk menggapai kesejahteraan. Namun untuk mencapai itu pemerintah dan masyarakat tidak bisa bekerja sendiri tetapi dibutuhkan kerja sama. "Kerja sama tidak mesti dengan investor. Saya berharap Bapak bupati mau bekerja sama dengan Yogyakarta."
Dikatakan, sudah ada 17 pro­vinsi yang telah menjalin kerja sama dengan Yogyakarta yang rata-rata menyangkut perbantuan tenaga ahli untuk menggali potensi dan membuat produk yang ada menjadi lebih berdayaguna. Sultan mengambil contoh, Ende memiliki banyak lontar dan kelapa. Kelapa banyak yang dibuat kopra dan minyak goreng. Namun air kelapa­nya masih dibuang padahal masih dapat dimanfaatkan untuk nata de coco serta tempurung kelapa yang masih dapat dimanfaatkan untuk souvenir. Tenaga-tenaga ahli dan terampil tersebut dapat dikirim untuk memberdayakan masyara­kat agar tumbuh kelompok-kelom­pok baru dan diharapkan agar potensi yang ada bisa dimanfaat­kan oleh masyarakat.

Komit Terhadap Nilai Bangsa
Ketua Panitia Jakarta, Thobias Djadji pada awal kegiatan menga­takan, Sultan Hamengku Buwono X adalah pemimpin yang komit terhadap Pancasila dan nilai-nilai bangsa, pro kebhinekaan dan plu­ralis. Sultan juga merupakan tokoh yang komit terhadap rakyat kecil. Berangkat dari kondisi itu, ma­syarakat NTT di perantauan ber­pikir searah untuk mencari pe­mimpin yang bisa merasakan kegetiran dan penderitaan ma­syarakat NTT dan peduli terhadap nasib masyarakat NTT yang per­kembangannya sangat jauh dari daerah lain. Bahkan NTT diselo­rohkan sebagai bukan saja daerah tertinggal tetapi daerah yang ditinggalkan.
Dikatakan, pernyataan yang pernah dikumandangkan putra NTT di perantuan yang mengata­kan bahwa berangkat dari Floba­mora lewat Yogyakarta untuk Indonesia tercinta maka bersama masyarakat Ende ingin berucap kepada Sultan Hamengku Buwono X "Kami semua bersamamu wujud­kan Indonesia baru."
Gaspar Parang Ehok, Koordi­nator Umum NTT mengatakan, berbicara soal NTT tidak ada bahasan lain selain persoalan kemiskinan, keterbelakangan. Dalam perspektif ini, kata Ehok, kehadiran Sultan Hamengku Bu­wono X bersama Sri Ratu Hemas lebih berarti lagi karena kehadiran ini sebagai bentuk kepedulian terhadap persoalan masyarakat NTT dan Ende khususnya. Kepe­dulian semacam itu hanya milik orang-orang tertentu yang empati terhadap kehidupan masyarakat.
Menurutnya, masyarakat NTT merindukan kehadiran seorang pemimpin yang mampu memberi­kan jawaban kepada masyarakat dan peduli terhadap yang lemah. "Kami juga datang untuk memawa dukungan kami bagi Sultan Ha­mengku Buwono X menjadi pre­siden RI."
Bupati Ende, Paulinus Domi dalam sekapur sirihnya memper­ke­nalkan kabupaten Ende dengan potensi yang dimiliki. Danau Ke­limutu, kata Bupati Domi, bukan saja satu-satunya di Indonesia namun juga menjadi satu-satunya di dunia dan itu kendati di Yogya­karta merupakan daerah yang unik tetapi itulah keunikan Ende yang tidak dimiliki Yogyakarta.
Bupati Domi pada kesempatan itu juga menyampaikan terima kasih kepada Sultan yang telah mengulurkan bantuan kepada segenap mahasiswa asal Kabu­paten Ende pada saat Ende digun­cang gempa tahun 1992 lalu. Selain itu Bupati Domi juga mengucapkan terima kasih atas bantuan Sultan kepada mahasiswa Ende saat terjadi gempa Yogyakarta bebe­rapa waktu lalu.
Pada acara di lapangan Panca­sila, Sultan Hamengku Buwono X juga memberikan bantuan berupa bibit padi varietas unggul yang diproduksi oleh Yogyakarta. Ke­pada Bupati Domi, Sultan berpesan agar benih padi itu dicoba terlebih dahulu dan jika ternyata berhasil agar dikontak cukup per telepon untuk diberikan tambahan bibit bagi masyarakat petani Kabu­paten Ende.

Bersih, Cerdas dan Santun....ITU BARU POLITIK

Politik Bersih, Cerdas, dan Santun

Oleh Ansel Deri

MASIH segar dalam ingatan penulis arahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) sekaligus perayaan Ulang Tahun ke-6 Partai Demokrat di Gelanggang Olahraga (GOR) Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah, 2007 lalu. Selain rasa syukur, ada kerinduan diberi kesehatan untuk melanjutkan ibadah, karya, tugas, dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Itulah doa yang oleh SBY, mesti dipanjatkan.

Ada hal penting lain. Menuju Pemilu 2009, suhu politik akan semakin memanas dan kompetisi akan semakin keras. Presiden meminta para kader agar tenang, teguh, berhati dingin. Berjuang dengan gigih untuk mencapai tujuan, namun tetap dilakukan dengan politik yang bersih, cerdas, dan santun. Sebagai kader, tentu elok jika memahami politik dalam artian sesungguhnya. Bahwa politik itu pengabdian kepada rakyat. Rakyat menjadi kiblat pengabdian politik.

Dalam bahasa berbeda, tepat apa yang dikemukakan Eddy Kristiyanto dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Politik perlu dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan dalam arti luas, (largo sensu) yakni arti utama dan sesungguhnya dari politik. Sebenarnya “jiwa” politik dan memoria itu paling jelas terbaca bukan pada tataran wacana (discourse), bukan tingkat verbal dan kognitif, melainkan lebih-lebih pada kemungkinan yang diciptakan oleh masing-masing pribadi dalam kebersamaan untuk menjadi semakin manusiawi (human), seraya hidup dalam suatu lingkungan yang ramah (hospitable) terhadap sesama, di mana keadilan, bela rasa penuh cinta (compassion), dan pemeliharaan hidup diutamakan.

Maka dari itu, pembicaraan tentang politik dan memoria menyangkut harkat hidup kita semua sebagai manusia. Inilah salah satu makna terdalam manusia di hadapan Hyang Widi. Kiranya, Ia tidak pertama-tama melihat agama, ras, golongan etnis, tingkatan sosial apa yang melatarbelakangi kita, melainkan “apa nilai manusia“ di hadapan-Nya. Semua hal kemudian menjadi sangat relatif jika diperhadapkan pada Sang Absolut Sejati (baca: Sakramen Politik, 2008).

Tentu kita sepakat, muara politik adalah pengabdian kepada bangsa dan Negara dalam arti sesungguhnya. Namun, dalam proses politik mencapai tujuan, tepat peringatan presiden. Bahwa politik tetap dilakukan dengan bersih, cerdas, dan santun. Para kader dan keluarga besar Partai Demokrat diminta menunjukkan dan memberikan contoh dalam etika politik dan aturan main demokrasi yang baik. Kepada semua pejabat pemerintahan yang berasal dari Partai Demokrat apakah menteri, gubernur, bupati, dan walikota juga diminta mengutamakan tugas untuk rakyat, negara dan bangsa kemudian tugas untuk partai politik.

Etika politik

Mengapa etika dan tata krama politik menjadi hal penting? Tentu ada alasan di balik itu. Tahun depan Indonesia akan diramaikan dengan dua agenda politik nasional, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pada Pemilu Legislatif, sebanyak 38 partai politik bakal meramaikan pesta demokrasi akbar ini. Pertarungan antarpartai politik dalam dua hajatan politik besar itu guna mencari dukungan masyarakat akan semakin keras. Bukan tidak mungkin, bisa terjadi persaingan yang tidak sehat guna mencari dukungan dan simpati.

Oleh karena itu, tentu sangat tepat bagi Presiden selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengingatkan hal penting terkait etika politik. Wajar dan relevan masalah etika (dan moral) politik diutarakan sehingga menjadi pedoman bagi para kader, terutama calon legislatif (caleg) yang akan bertarung menjadi anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Mengapa etika politik begitu penting? Menurut Ruslani (Kompas, 6/10/2006), ada tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah, di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas.

Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.

Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan “perubahan harus konstitusional” menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil.

Hemat saya, arahan dan peringatan Presiden terkait etika dan tata krama politik tetap relevan jika diletakkan dalam konteks Pemilu 2009. Dengan demikian, kita mampu menyukseskan hajatan politik besar itu kemudian menghasilkan pemimpin yang menempatkan rakyat kiblat pengabdiannya. Bukan pemimpin yang berfoya-foya dengan miliaran rupiah hasil korupsi. Bukan pula pemimpin mengiming-imingi para petani sederhana dan bersahaja, misalnya, untuk tinggal di apartemen mewah lengkap dengan perabotnya sebagai buntut perselingkuhan politik dengan investor. Atau pemimpin yang berambisi gede menjual tanah ulayat masyarakatnya kepada calon investor tanpa sepengetahuan pemilik.

Penulis adalah Wartawan peliput kegiatan Presidenselaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat

Lawan dan Lawan!

Tak Ada Waktu Lagi: LAWAN!

Olanama

Kita telah di ujung tahun. Perpisahan selalu dramatis, meski kalender hanyalah sebuah periodeisasi. Nama tahun yang akan mantan adalah dua ribu delapan. Dan di antara hari-hari lalu, kita terlibat secara fisik maupun rohani dalam mencatat kertas-kertas kenangan. Ketika lembaran kenangan itu harus kita hanguskan di tengah malam pergantian, kita merasakan lakon sebuah drama. Kesedihan yang pernah membuka layarnya. Impian yang terkubur. Mungkin bahagia yang sejenak. Dan kita ingin mengucapkan selamat jalan, sebelum malam menelan kenangan itu.

Kemarin mungkin kita kelebihan waktu. Hari ini, tak ada waktu lagi. Tak ada waktu untuk benahi diri, kata Ebiet G. Ade. Bahkan tak ada tempat lagi untuk kembali. Setiap kita mengalami waktu sebagai sungai yang mengalir sampai jauh. Ketika tahun berganti, kita tiba-tiba sadar. Ada uban nakal menyelip di antara hitam rambut. Segaris keriput menghiasi ujung alis. Kalender terkelupas dari dinding. Dan mungkin terompet tahun baru digulung dari kertas bekas penanggalan. Waktu berjalan seperti tipuan maut yang membuat kita seolah lupa, bahwa kita telah menyia-nyiakan banyak hal. Satu detik mungkin tidak berharga. Tapi simaklah catatan Joe Boot dari Ravi Zacharias International Ministries: “Setiap detik 4,5 mobil dibuat di dunia, ada 2000 meter persegi hutan lenyap, ada tiga bayi dilahirkan, ada 1,5 orang meninggal. Dalam satu detik juga ada 2,4 sel darah merah diproduksi di sum-sum tulang.”

Sungguh banyak hal terjadi dalam satu detik. Maka memulai sesuatu dari hitungan detik bisa menjadi ukuran kecepatan kita dalam mengatasi pekerjaan dan soal yang masih tersisa. Kita bisa saja berhenti korupsi karena satu detik waktu mengingatkan kita akan akibat buruk tindakan kita itu bagi rakyat miskin Flores atau NTT umumnya. Indonesian Corruption Watch menempatkan NTT di urutan keenam provinsi terkorup. Dan inilah komentar paling satiris: "Paling enak korupsi di NTT karena hampir 100 persen dijamin lolos.”
Dari sisi medis, pada Pemantauan Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi NTT, tertanggal 11 maret 2006, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT melaporkan bahwa angka balita kurang gizi meningkat menjadi 86.275 orang. Balita gizi buruk sebanyak 13.251 orang. Dan balita busung lapar sebanyak 523 orang. Pada 7 Juni 2006, jumlah balita meninggal sebanyak 68 orang, meningkat dari 61 balita tahun sebelumnya atau semakin mendekati jumlah korban tragedi kelaparan besar di Flores yakni Wolofeo yang menewaskan 100 orang lebih pada tahun 1978. Menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, meski baru merebak di media massa pertengahan 2004, kasus busung lapar sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelumnya. Setiap tahun sekitar Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun dana digelontorkan ke NTT. Namun kesejahteraan tak membaik. Indeks pembangunan manusia NTT, menurut Badan Pusat Statistik, menempati urutan ke-28 dari 30 provinsi. Angka kemiskinan tinggi dan infrastruktur terburuk.
Begitu menyoloknya angka merah sampai mata kita tak melihat hal baik yang mungkin pernah tercatat. Itulah penghakiman sang waktu bagi sebuah keteledoran. Ia sering disebut sebagai dimensi keempat dalam sains dan punya kedudukan penting untuk observasi ilmiah yang peristiwanya diukur dalam satu kerangka. Namun relativisme mengabaikan kerangka waktu standar atau absolut, karena definisi waktu tak bisa hanya melalui pengukuran. Ia terasa panjang bagi yang bosan. Tapi pendek bagi yang ingin berlama-lama dengan sang kekasih. Pun, di depan prestasi, satu jam cerita sukses tak akan menyolok mata bila diracuni dengan satu detik kegagalan. Nila yang meracuni itu tidak hanya setitik. Susu sebelanga tak hanya rusak melainkan juga bertukar menjadi racun.
Maka tak ada waktu lagi untuk benahi diri. Waktu akan menjadi sekat pertama yang membatasi kesempatan kita. Dan kita hanya membutuhkan sebuah resolusi untuk tidak takluk pada kegagalan kemarin. Ambil waktu. Sedikit merenung. Buat neraca. Ingin tahu apa yang terjadi esok. Bermimpilah. Sebab kita mungkin masih ada di sini esok, tapi impian kita tidak.
Berbagai kalangan telah coba untuk membangun impian tentang sebuah Flores yang damai dan makmur. Tambang dengan gigi kapitalisnya telah mencuatkan mimpi untuk mendadak kaya. Tapi perlawanan tak kunjung reda. Masyarakat lebih mengimpikan listrik, jalan dan air, ketimbang menghias gigi mereka dengan kilatan cahaya emas. Menteri Pertambangan dan Energi telah bijaksana menyatakan keberatannya. Dan korem? Bukankah militer hendak memutihkan susu yang telah bertahun dirusakkan oleh nila represi? Tak ada waktu lagi memperbaiki citra. Sekat-sekat waktu sengaja dibuat oleh akal budi untuk membuat hidup sedikit mempunyai arti. Dalam hidup yang singkat dan cepat menua ini, militer tentu ingin tidur nyenyak. Membuka korem di tempat yang salah hanyalah menyentakkan tidur nyenyak menjadi igau yang panjang. Perlawanan tak akan berhenti, sekeras watak baja orang Flores, semirip puisi Wiji Thukul:
Jika rakyat pergiKetika penguasa pidatoKita harus hati-hatiBarangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyiDan berbisik-bisikKetika membicarakan masalahnya sendiriPenguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluhItu artinya sudah gawatDan bila omongan penguasaTidak boleh dibantahKebenaran pasti terancamApabila usul ditolak tanpa ditimbangSuara dibungkam kritik dilarang tanpa alasanDituduh subversif dan mengganggu keamananMaka hanya ada satu kata: LAWAN!

Sultan di Ende


*Jelang Kedatangan Sultan Hamengku Buwono X (1)
Ende, Soekarno dan Pluralisme

Oleh Steph Tupeng Witin

Kota Ende boleh dibilang jantungnya Flores. Ini kota bersejarah: tempat Bung Karno merenungkan Pancasila. Sisa-sisa “keangkeran” sejarah itu masih terekam di balik dinding situs. Di kota mayoritas anak muda Flores berkumpul untuk mengais “remah-remah” ilmu yang “jatuh” dari meja pendidikan tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi. Ende ibarat pelita yang mengembuskan berkas-berkas cahaya untuk menerangi relung-relung Flores. Flores yang tampak gelisah di hadapan realitas kemiskinan dan keterbelakangan. Flores yang belakangan ini semakin gencar diincar pemodal serakah yang berikhtiar menguliti tubuh Flores melalui pertambangan.
Di kota inilah budayawan Sultan Hamengku Buwono X akan menjejalkan kaki “sejarahnya.” Ia akan tiba di Ende, Selasa (25/11) untuk membuka festival seni budaya Flores. Momen seni budaya ini menjadi ruang bagi Sultan untuk menyelami gelora semangat perjuangan rakyat sekaligus menimba inspirasi kesederhanaan rakyat Flores yang tetap setia bergayut di bawah bendera Indonesia meski realitas kemiskinan dan keterbelakangan adalah sisi gelap dari minimnya perhatian dan simpati pemerintah. Seni dan budaya adalah jendela bagi Sultan dan rombongan untuk menatap “panorama” Flores yang tetap tegar di antara deraan kesulitan dan tantangan yang tidak pernah akan berhenti.
Koordinator Team Sultan, Garin Nugroho melukiskan perjalanan ke Ende-Flores ini sebagai sebuah ziarah untuk menelusuri kembali jejak perjalanan Soekarno khususnya ketika merenungkan butir-butir nilai Pancasila. Ini ziarah untuk mengambil kembali spirit hidup Soekarno yang sangat menghargai pluralisme dan keberagaman yang sesungguhnya hidup amat nyata di antara rakyat Ende-Flores. Semangat hidup rakyat Flores inilah yang menjiwai kiprah Soekarno dalam menata dan membangun sebuah Indonesia yang plural dan bhineka.
“Nilai pluralisme dan kebhinekaan ini telah lama menghilang dari bangsa Indonesia. Kita sebetulnya melakukan perjalanan ini untuk menggali kembali nilai-nilai itu agar menjadi kekuatan bersama dalam membangun Indonesia yang berwajah bhineka. Ini kekuatan yang mesti menopang Indonesia ke depan,” katanya.
Di jantung Flores ini, Sultan akan “menyepi” di tengah kesunyian deretan atap pendidikan Frateran Ndao. Mengapa mesti Ndao? Fr. Sarto, BHK, pimpinan Biara BHK Ndao terbahak-bahak dari seberang saat dikonfirmasi melalui telepon biara. “Kami tidak ada apa-apanya. Panitia mengatakan Frateran Ndao itu tempat yang sunyi, dijamin menyenangkan dari sisi keamanan dan ada fasilitas yang bisa menjadi sarana penyuksesan kegiatan pentan seni dan budaya,” katanya.
Bagi rakyat Ende-Flores, ziarah Sultan Hamengku Buwono X ini menjadi sebuah ruang refleksi bersama perihal nilai pluralisme dan keberagaman. Telah sekian lama nilai pluralisme ini menjadi zat perekat sehingga mengutuhkan seluruh Flores menjadi sebuah “rumah bersama” yang plural. Melalui pluralisme ekspresi kemerdekaan menjadi sesuatu yang konkret dan jati diri sebagai manusia bermartabat tampak terang yang memantulkan berkas-berkas cahayanya melalui jiwa Soekarno yang telah menjadi inspirasi murni untuk merancang sebuah Indonesia yang plural dan bhineka.
Menurut tokoh muda Jaringan Aktivis Indonesia untuk Reformasi, Kasimirus Bara Beri, bagi rakyat Flores, ziarah budaya Sultan Hamengku Buwono X mestinya menjadi saat untuk menimba keteladanan dan ketokohannya yang memancar dalam seluruh pengabdiannya kepada rakyat Yogyakarta.
“Ini ruang yang tepat bagi rakyat Flores untuk mengungkapkan aspirasinya. Sosok Sultan Hmengku Buwono boleh dikatakan “ratu adil” yang tengah dinantikan rakyat Indonesia saat ini. Apalagi Sultan juga menjadi salah satu bakal calon presiden pemilu 2009 nanti,” katanya (Bdk FP, Sabtu, 22/11).
Perjalanan Sultan Hamengku Buwono X adalah ziarah penggalian nilai-nilai pluralisme dam keberagaman yang telah ditimba dari Ende-Flores dan dihidupi Soekarno dalam rancangan bangunan Indonesia. Boleh dikatakan, Flores telah menerangi Indonesia dengan berkas cahaya pluralisme dan keberagaman. Tetapi bagi rakyat Flores, kunjungan ini adalah sebuah momen untuk menancapkan lebih dalam lagi spirit pluralisme dan keberagaman dalam beragam dimensi melalui tindakan kemanusiaan yang lintas batas. Nilai-nilai ini boleh jadi telah sekian lama tenggelam juga di bawah arus pemikiran kerdil dan sempit yang memandang pluralisme dan keberagaman sebagai sesuatu yang perlu disingkirkan atas nama egoisme pikiran dan realitas mayoritas.
Inilah ruang bagi kita semua: Sultan Hamengku Buwono X dan rombongan serta rakyat Flores untuk kembali mengakarkan nilai pluralisme dan keberagaman sebagai zat perekat satu sama lain. Pada akhirnya Flores akan terus memberi sumbangan untuk Indonesia dari sisi pluralisme yang sebetulnya nyata dalam hidup di Flores. Seperti jiwa/motto dari Harian Umum Flores Pos ini: “Dari Nusa Bunga untuk Nusantara.” *

*Jelang Kedatangan Sultan Hamengku Buwono X (2/Habis)
Ilham Intelektual untuk Rakyat Flores


Oleh Steph Tupeng Witin

Hari ini, wajah Ende berubah: spanduk ucapan selamat datang terbentang di beberapa sudut kota. Baliho Sultan Hamengku Buwono X menghiasi beberapa sudut strategis. Meski aktivitas kota berjalan normal tetapi tanda tanya bergayut di hati rakyat. Kehadiran Sultan Hamengku Buwono X adalah kerinduan warga Flores dan Ende khususnya.
Menurut rencana, kunjungan yang bertepatan dengan hari guru ini akan menjadi momentum tersendiri bagi rakyat Ende untuk berbenah dalam bidang pendidikan. Bidang ini merupakan salah satu kunci dalam seluruh proses pembangunan tetapi paling kerap diabaikan dalam kebijakan publik. Bidang ini tampak letih tertatih di tengah pemborosan anggaran kebijakan publik yang lebih mengutamakan “kesenangan” para pengambil kebijakan. Kehadiran sosok “bersih” ini diikhtiarkan untuk menyapah nurani pendidikan kita terutama membangkitkan simpati dan rasa cinta terhadap para guru dan pendidik yang telah berjasa besar dalam mengemban misi suci-mulia ini.
Kehadiran Sultan Hamengku Buwono X di “jantung Pulau Flores” ini membawa nuansa tersendiri bagi rakyat Ende. Nostalgia masa lalu menempatkan Ende sebagai “pusat intelektual” bagi seluruh Flores bahkan NTT dan Nusa Tenggara. Di rahim pulau ini telah lahir SKM DIAN, majalah tertua yang menjadi rahim bagi sekian jurnalis asal NTT yang kini tersebar di berbagai koran dan media besar Indonesia bahkan dunia. Di Ende juga ada Penerbit Nusa Indah yang telah berandil menyebarkan benih intelektual melalui buku-buku yang bermutu dan cerdas. Sekarang, denyut ketegaran intelektual itu coba terus diupayakan melalui lembaran Harian Umum Flores Pos.
Kehadiran Sultan Hamengku Buwono X sarat makna yang beragam. Terkait ranah pendidikan, kunjungan ini sebuah refleksi bersama untuk membangkitkan nostalgia eksistensi Ende sebagai pusat intelektual NTT masa lalu untuk membaca kenyataan saat sekarang. Perkembangan zaman, gerak laju bisnis boleh jadi telah menempatkan Ende sebagai sosok kota tua yang tampak renta, kian lunglai langkahnya meniti tantangan dan kesulitan zaman yang silih berganti mendera punggungya. Benarkah Ende masih layak memanggul predikat sebagai pusat intelektual untuk Flores?
Menurut Ketua Tim Sultan, Garin Nugroho, perjalanan budaya Sultan Hamengku Buwono X adalah sebuah ziarah untuk menggali kembali spirit dan nilai pluralisme dan keberagaman yang telah ditimba oleh Soekarno selama melewati masa pembuangannya di Ende. Masa pembuangan Soekarno di Ende juga menyimpan kisah yang menyibak tirai intelektualismenya. Aktivitas intelektual Soekarno selama berada di Ende terbaca dalam situs yang kini menjadi sebuah “cerita bersejarah.” Salah satu tulisannya tentang “sejarah yang berkeringat” tergantung di dinding ruangan kerja pribadi di situsnya. Soekarno adalah sosok intelektual yang “memeras keringat” melalui tulisan tangan yang mengajak setiap penikmat sejarah untuk terus berpikir tentang realitas sosial-politik.
Dalam buku Soekarno: Ilham dari Flores yang diterbitkan Penerbit Nusa Indah terbetik beberapa penggalan kisah intelektual Soekarno yang sesungguhnya menjadi ilham segar juga untuk membangun lagi bangunan intelektual Flores. Pertama, Soekarno adalah sosok yang mencintai buku. Ia menghabiskan waktu dengan berjalan kaki mendaki bukit kecil di samping Gereja Kathedral Ende menuju Biara St. Yoseph untuk membaca di perpustakaan biara. Aktivitas ini juga menjadi sebuah taktik Soekarno untuk membangun dialog dan diskusi dengan beberapa pastor misionaris asing yang menetap di biara St. Yoseph Ende. Kedua, Soekarno juga sangat mencintai tonil atau sandiwara. Selama berada di Ende ia membentuk kelompok sandiwara untuk menyalurkan kekayaan intelektual kepada rakyat sekaligus sarana yang strategis untuk membangun kesadaran kritis nasionalisme di kalangan rakyat.
Rekaman berbagai atribut dalam situs, kisah buku Soekarno: Ilham dari Flores dan tuturan penjaga situs Bung Karno menggambarkan luasnya cakrawala pergaulan seorang Soekarno. Relasinya melewati sekat-sekat primordial. Ia bisa bergaul dengan rakyat jelata. Ia bisa berdiskusi dengan para misionaris asing di biara St. Yoseph. Ia bisa “menghipnotis” kalangan muda untuk membangun benih-benih nasionalisme melalui sandiwara. Ia telah menghidupi spirit keberagaman atau pluralisme. Nilai-nilai inilah yang telah membentuk dirinya sehingga menjadi pribadi yang menghargai nilai keberagaman dan pluralisme. Semua ini telah berandil menjadi bahan dasar baginya untuk merancang sebuah Indonesia yang plural yang penuh dengan kekayaan melimpah. Kiranya kunjungan Sultan Hamengku Buwono X juga menjadi ilham bagi sleuruh rakyat Flores untuk membangun semangat intelektual yang sahaja melalui sarana-sarana komunikasi yang menghantar rakyat Flores menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Pribadi yang matang akan menjadi ruang hadirnya spirit pluralisme sehingga relasi antar manusia terekat erat menuju Flores: sebuah rumah bersama yang damai dan sahaja.

Tahan=Salah

Doni Ruing
Penahanan Goris dkk, Pemkab Lakukan Kesalahan *Segera Bebaskan Goris Molan dkk
Oleh Ansel Deri

Penahanan dan penetapan Gregorius Molan dan enam petani sebagai terdakwa dan kini mendekam di tahanan dalam kasus penebangan pohon di kebun milik sendiri menunjukkan bahwa ada kesalahan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata serta instansi terkait dan aparat penegak hukum. Kesalahan itu terjadi karena Pemkab Lembata tidak memberikan edukasi kepada masyarakat petani guna mengetahui aturan main kehutanan berikut hak dan kewajibannya.
“Oleh karena itu, jika pemerintah mau melaksanakan peraturan perundan-undangan terkait kehutanan secara baik dan mengedepankan kearifan lokal maka penangkapan hingga penetapan status terdakwa tujuh petani itu tidak terjadi. Proses penangkapan hingga penahanan para petani itu pun bisa dianulir sebelum masuk ranah hukum,” ujar Paulus Doni Ruing, tokoh pejuang otonomi Lembata di Jakarta.
Proses hukum terhadap para petani itu, lanjut Ruing, terjadi karena ada kepentingan kekuasaan yang hanya akan merusak relasi dan tatanan sosial masyarakat Lembata. Masyarakat Lembata masih memiliki tali temali hubungan darah sehingga lebih bijak kasus itu diselesaikan dengan kekeluargaan, dengan hukum positif.
“Apalagi, status tanah ulayat yang diklaim sebagai hutan lindung itu belum final karena harus melewati tahapan dan prosedur sebagaimana disyaratkan. Masyarakat petani juga mestinya diedukasi agar mereka mengetahui hak dan kewajibannya dalam mengelolah lahan miliknya agar tidak terjadi klaim sepihak dari pemerintah,” tegas Ruing.

Bebaskan Petani
Keluarga Besar Mahasiswa Lembata Jakarta (KBMLJ) meminta kepada PEmkab Lembata agar ketujuh petani yang di kini ditahan segera dibebaskan dari jerat hukum karena mereka menjadi korban kesewenang-wenangan dari pelaksanaan aturan kehutanan di Lembata.
“Pemerintah Kabupaten Lembata sesungguhnya tidak punya kewenangan menetapkan sebuah kawasan menjadi hutan lindung karena hal itu menjadi kewenangan Menteri Kehutanan RI. Penetapan sebuah kawasan jadi hutan lindung pun harus melewati proses yang panjang, termasuk persetujuan masyarakat,” ujar Pius Lima Klobor dari KBMLJ.
Pius yang juga Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Jakarta Barat menambahkan, di Pulau Lembata saat ini hanya Ile Mahino (RTK 144) yang sudah ditetapkan Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI sebagai kawasan hutan lindung dengan panjang 15.120 meter dan luas 1.109,89 hektar.
Penetapan Ile Mahino sebagai hutan lindung baru pada zaman Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI, Dr Ir Muslimin Nasution. Sedangkan, kawasan hutan Hadakewa–Labalekan statusnya masih penunjukan, bukan penetapan sebagai kawasan hutan lindung.
“Kalau terjadi perubahan status menjadi hutan lindung maka masyarakat akan dilibatkan. Saya lihat, petani kecil Goris Molan menjadi korban dari ketidaktahuan Pemkab Lembata dan aparat hukum di Lembata dalam menerapkan aturan kehutanan. Kita minta Bupati Lembata segera membahasnya agar tidak terjadi kesewenang-wenangan di tingkat implementasi aturan kehutanan. Jangan sampai petani di Lembata dijebloskan dalam tahanan sekalipun mereka mengolah hutan sendiri guna mencari nafkah,” tegas Pius.
Sebelumnya, kuasa hukum Gregorius Molan dkk, Petrus Bala Pattyona, SH, MH menyurati Menteri Kehutanan RI Malem Sambat Kaban di Jakarta. Surat bernomor: 044/MP/PBP/XII/2008 dikirim 6 Desember 2008 lalu.
Bala memohon Menteri Kaban memberikan copy SK Pengukuhan Kawasan Hutan di Lembata, NTT berikut segala lampiran di antaranya Berita Acara untuk semua tahap Pengukuhan dan Peta Tata Batas Definif serta Peta Penetapan Kelompok Hutan Lindung yang ditandatangani oleh Menteri Kehutuanan Republik Indonesia.
Bala juga meminta klarifikasi dan penegasan mengenai Kepmen Kehutanan dan Perkebunan Nomor 423/Kpts-II/1999, apakah sudah memberikan jaminan kepastian hukum terhadap Hutan Lindung Hadakewa Labalekan sesuai pasal 14, 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 atau belum. Karena pihak Dinas Kehutanan dan penegak hukum di Lembata dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan menganggap keputusan ini sudah final mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar untuk menangkap, menahan, dan mengadili para petani kecil yang menebang pohon di lahan/kebun miliknya sendiri yang belum dialihkan menjadi hutan negara/lindung.
Surat itu juga diteruskan kepada Ketua DPR RI Agung Laksono, Ketua Mahkama Agung RI Bagir Manan, Jaksa Agung RI Hendarman Supandji, Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri, Mendagri Mardiyanto, Menteri Pertanian Anton Apriantono, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, dan sejumlah pihak. Di antaranya, Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Bupati Lembata, Kajari Lembata, Kapolres Lembata, dan Ketua Pengadilan Negeri Lembata. Juga Kadis Kehutanan, Kadis Pertanian, Kadis Perkebunan Lembata, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Lembata, dan lain-lain.

Dana Purnabakti


Dana Purnabakti Termasuk Korupsi
*Sarah: Sebaiknya Ditahan

Oleh Ansel Deri

Dana purnabakti yang diterima para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (DPRD) Lembata usai masa tugasnya, termasuk korupsi. Oleh karena itu, mereka yang sudah menerima harus diproses secara hukum.
“Dana purna bakti itu masuk kategori korupsi. Siapa pun wakil rakyat yang menerima dana purna bakti harus diproses secara hukum. Mereka kan bukan pegawai negeri sipil yang harus diberi pesangon usai menjalani masa tugasnya,” kata Ansy Lema, M.Si, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Nasional Jakarta.
Sejumlah mantan anggota DPRD Lembata periode 1999–2004 kini terjerat masalah hukum karena menerima dana purna bakti. Sebagian dari mereka kini sebagai calon anggota DPRD pada Pemilu Legislatif 2009 mendatang.
Direktur FIRD, Melki Koli Baran mempertanyakan, atas dasar apa anggota DPRD Lembata periode 1999–2004 menerima dana purnabakti. Selain tak ada aturan, DPR adalah karir politik. Jika mereka tidak lagi menjabat wakil rakyat maka karir politik hilang dengan sendirinya.
“DPR itu karir politik. Dasarnya adalah kepercayaan rakyat saat Pemilihan Umum. Jika rakyat tidak percaya lagi maka karir politik yang bersangkutan hilang. Para wakil rakyat itu tidak bekerja sampai batas usia purnabakti seperti birokrat,” kata Melki Koli Baran dari Flores Institute for Development kepada Flores Pos, Kamis (12/12) lalu.
Menurutnya, selama lima tahun sebagai wakil rakyat, setiap bulan mereka juga diberikan gaji, biaya perjalanan dinas, tunjangan kesehatan jika sakit, biaya sidang dan jabatan-jabatan lainnya. “Bahkan DPRD juga diberikan fasilitas pemondokan sekalipun mereka tinggal di rumah sendiri. Jadi, atas dasar apa mereka mendapat tunjangan purnabakti? Jika mereka terima, tentu berimplikasi hukum,” tandas Melky Baran.

Ditahan
Direktur Eksekutif Pusat Informasi Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, Sarah Lery Mboeik menambahkan, jika bicara dalam tataran normatif maka sebenarnya tidak ada dana purnabakti. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 110 tahun 2002, tidak ada nomenklatur yang mengatur adanya dana purnabakti, termasuk dana asuransi kesehatan.
“Dana asuransi kesehatan ini ada tetapi bukan untuk dibawa pulang. Tatkala anggota DPR bersangkutan sakit maka mereka bisa complain dananya. Bukan dibagi-bagi untuk dibawa pulang,” tegas Sarah Mboeik di Hotel Arcadia Jakarta, Sabtu (14/12).
Baik Sarah maupun Ansy mengingatkan agar status wakil rakyat jangan hanya “ntt” alias nasibnya tetap tersangka. Mestinya, para wakil rakyat yang jelas-jelas menerima dana purnabakti harus diproses terus hingga tuntas.
“Bila perlu ditahan karena nyata-nyata menerima uang yang bukan haknya. Jangan sampai mereka hanya menjadi mesin ATM aparat penegak hukum. Itu jelas-jelas melukai rasa keadilan masyarakat,” tandas Ansy, yang juga staf pengajar Universitas Paramadina, Jakarta.
Lery menambahkan, selama ini pihak kepolisian dan kejaksaan berlindung di balik PP No. 110 tahun 2002 dan menganggap bahwa PP itu sudah dicabut. Kasus-kasus dana purnabakti yang melibatkan anggota DPRD mestinya dibuka kembali karena itu termasuk korupsi. “Tak ada alasan bagi aparat penegak hukum di Lembata untuk tidak membuka kembali kasus itu demi menghargai dan menghormat rasa keadilan masyarakat. Apalagi, jumlah dana yang diterima sangat besar, mencapai ratusan juta rupiah. Kita tahu, APBD Lembata sangat kecil dan sebagian besar hanya untuk DPRD. Nah, ini kan nggak adil,” kata wanita yang pernah menerima penghargaan Yap Thiam Hien, ini.

Mangan Serise

Cerita tentang Tambang Mangan Serise

Oleh Siti Maemunah


Terkantuk-kantuk saya membaca laporan empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Nusa Tenggara Timur tentang PT Arumbai Mangan Bekti di Manggarai. Tapi sontak kantuk itu pergi, begitu mata saya meniti sederet kata, “Usaha penambangan mangan sudah cukup lama dilakukan dan relatif memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah setempat.”

Saya termangu memandangi laporan yang dibuat pada Agustus 2005 lalu ini. Sambil teringat dokumen lain yang berisi pengaduan warga Sirise, Luwuk, dan Lingko Lolok tentang perusahaan itu. Surat pengaduan enam halaman itu, dikirim Solidaritas Perempuan Peduli Kekerasan (SOPPAN) di Ruteng – Manggarai ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jakarta.

Dalam surat itu warga Sirise dan lingko Lolok mengeluhkan soal pembongkaran lahan dan penggalian yang telah merusak tanah adat mereka, menebarkan debu, dan mengalirkan limbah yang akhirnya mencemari sumber-sumber air. Apakah surat itu dikirimkan juga kepada keempat anggota dewan itu? Apakah keempat anggota dewan itu pernah mengunjungi warga di sana dan berdialog secara santai dengan mereka?

Laporan dan surat itu, membawa saya kembali mengunjungi Sirise.

***

Setiba di Ruteng – ibu kota Manggarai, dengan mobil sewaan kami meluncur ke Sirise. Jumlah kami empat orang, saya bersama tiga kawan dari SOPPAN dan PIKUL, berangkat atas undangan warga, khususnya empat perempuan - Margareta Nelly, Ruth, Melti Yoyanti dan Maria Mene, yang Januari lalu datang melaporkan masalahnya kepada SOPPAN.

Serise merupakan kampung kecil di tengah Manggarai yang lima tahun lalu sempat saya kunjungi, juga untuk melihat dampak pertambangan PT Arumbai kepada warga dan lingkungan.

Perjalanan ke Sirise menelan waktu tiga jam. Sopir kami berkali-kali melambatkan mobil jika jalanan terhalang longsoran tanah. Di beberapa tempat, alat-alat berat sibuk membereskan tumpukan tanah itu. Terkadang, kami terpaksa berhenti sedikit lama, menunggu giliran melintas karena berbagi jalan dengan mobil lainnya. Ada sekitar tiga puluh kali gangguan
longsor itu menghambat kami.

Memasuki Sirise batu-batu kasar menyambut roda. Di sepanjang pinggiran jalan tetumbuhan terlihat kusam, senasib dengan rumah-rumah yang ada. Tak banyak, hanya 48 rumah. Sebagian besar masih berdinding bambu, sebagian lagi tak berdaun jendela. Masih seperti lima tahun yang lalu.

***
Sepuluh tahun sudah PT AMB beroperasi di sini. Mereka mendirikan pabrik tak jauh dari perkampungan, paling-paling berkisar 50-an meter.

Di awal perusahaan masuk, setiap warga berharap-harap sejahtera. Mereka memimpikan, berbagai kendaraan ramai melintas, anak-anak bisa bersekolah lebih baik, sehingga mutu hidup meningkat, kesejahteraan meningkat. Kesejahteraan yang bersumber dari mangan.

Batu Mangan berwarna hitam. Bijih-bijih mangan ditambang dengan cara pertambangan terbuka (open pit), dengan melakukan peledakan, pengeboran, pengangkutan hingga pemilahan bijih mangan, sebelum di kapalkan ke luar negeri.

Menambang mangan memang menguntungkan, tapi tidak untuk mereka, penduduk lokal yang mendiami Sirise. Setelah bertahun-tahun perusahaan itu bekerja, ternyata hidup mereka semakin tak nyaman. “Sumur sumber air bersih kami ikut tercemar. Saat hujan, dari tempat eksploitasi di puncak gunung, sampah mangan terbawa banjir lalu masuk ke sumur,” ungkap Maria Mene. Sampah mangan yang ia maksudkan berupa batuan dan tanah yang bercampur bijih mangan. Oleh perusahaan batuan ini dibuang dan ditumpuk begitu saja.

Sambungnya, “Bukan cuma di musim hujan. Waktu kemarau, setiap mesin pengolah berbunyi, sejak jam 8 pagi hingga 4 sore, debu-debu mangan beterbangan lalu menempeli semuanya, air sumur, perabotan, baju, meja makan, piring, makanan, pokoknya semua kena debu itu. Bahkan kami pun tidur diselimuti mangan.”
“Anak-anak jadi tidak bebas bermain di luar. Badan mereka jadi kotor, hitam, jika bermain tanpa baju.” tambahnya.

Lain lagi cerita Pak Martinus Eban. Setiap kali berangkat ke sekolah di Luwuk, anaknya akan melintasi pusat pengolahan mangan. Akibat itu, baju sekolahnya kotor terkena debu mangan. Pernah suatu saat di sekolah, sang anak dimarahi dan dipukul oleh gurunya. “Saya tidak terima,” kata Pak Eban, geram.

“Seperti itulah hidup kami sekarang. Tidur dengan mangan, makan dengan mangan, muntah juga dengan mangan” Ibu Ruth menimpali, ia sudah 9 tahun bekerja di PT Arumbai.

****

Dari kampung Sirise, kalau kita berjalan kaki sebentar menuju timur menaiki bukit maka akan menemui kampung lain. Orang-orang menyebutnya lingko Lolok, masuk desa Satar Teu. Di kampung inilah penggalian dilakukan untuk mendapatkan bijih mangan. Orang-orang lingko Lolok selama ini hidup dengan adat mereka mengolah hasil hutan dan berladang di lingko. Lingko merupakan tanah milik adat, milik bersama, sehingga tidak mudah orang untuk memilikinya kecuali melalui prosedur adat. Dan sejak penggalian biji mangan, pelan tapi pasti mereka kehilangan akses menikmati hasil hutan dan
berladang. Perusahaan memanfaatkan aturan adat untuk menguasi lingko mereka.

Setelah setahun PT Arumbai beroperasi, warga lingko Lolok sempat menuliskan surat keluhan kepada pemerintah setempat. Mereka mendesak pemerintah segera menghentikan penambangan. Juga menuntut perusahaan menimbun lubang dan menanam kembali pohon di bekas lokasi galian. Hasilnya?

Nihil. Bahkan tanpa bersepakat dulu, di tahun 1997 perusahaan menggali lingko Lolok, dan terus menggali hingga tahun 2002. PT Arumbai menamai lokasi itu blok Satarnani I dan Satarnani II. Penggalian dilakukan juga di kawasan Bohorwani dan Golowiwit. Setelah warga dan para tetua adat protes, barulah terjadi musyawarah. Akhirnya, dalam pertemuan adat, perusahaan diputuskan bersalah dan harus membayar denda adat.

Melalui denda adat, mereka diharuskan menyediakan jenset untuk penerangan, membangun rumah gendang yaitu rumah adat, membuat jalan dari mata air ke rumah adat, menyediakan bahan untuk upacara syukur padi, yang biasanya dilakukan dua kali setahunnya.

Sayangnya denda adat yang tak seberapa untuk ukuran PT Arumbai, tak pernah dibayar lunas. Rumah gendang baru dibangun dan jenset baru disediakan setelah warga berdemo ke DPRD Manggarai. Yang lainnya? Tak tahu lagi warga, bagaimana harus menuntutnya.

Itu belum termasuk sawah-sawah yang rusak tertimbun batu dan tanah sampah mangan, yang ganti ruginya tak kunjung dibayar perusahaan. Sawah-sawah juga kesulitan air, karena sungai kecil yang mengairinya telah mati kekeringan. Hutan di hulunya sudah gundul, juga karena tingkah perusahaan.

Denda adat tak membantu. Puncak gunung di kawasan lingko Lolok yang dulu hijau, berubah gundul, gersang, berdebu. Juga berlubang. Waktu hujan mengguyur, lubang-lubang itu menjadi danau sepi tanpa kehidupan. Padahal daerah puncak itu merupakan kawasan larangan, semacam kawasan suci yang terlarang untuk sembarang kegiatan, yang karena itu mereka bisa terus memperoleh air.

Dari gunung, “celaka” itu terus menggulir ke perkampungan di bawahnya. Waktu musim hujan, sawah dan kebun penduduk penuh genangan lumpur hitam. Lumpur itu tadinya sampah mangan yang ditimbun yang kemudian meluncur mengikuti air hujan. Komplit sudah kerusakan di sana, dari hutan, sungai, sumur, juga sawah, juga ladang.

“Dulunya, sebelum perusahaan datang, tiap keluarga di lingko menghasilkan sekitar 30 karung padi ladang, dan bisa 3000 ikat jagung. Sekarang, 10 karung padi saja syukur, kalau jagung malah bisa kosong” geram Remigius Jameon, mewakili kegeraman warga lainnya.

***
Bukan dengan warga saja PT Arumbai memiliki masalah, karyawannya sendiri merasa menderita bekerja di situ. Enam tahun lalu, dua ratusan buruhnya mogok kerja menuntut alat kerja yang lebih sehat dan aman seperti masker, helm, kaos tangan dan sepatu kerja. Juga mereka meminta kenaikan gaji dan uang makan.

''Kami disuruh membeli masker sendiri. Mana kami mampu! Sesekali ada dokter yang datang memeriksa, tetapi bila sakit kita urus sendiri,'' ujar seorang pekerja tetap. Setiap bulan gaji yang ia bawa pulang sebesar 200 ribu rupiah. Jumlah yang terlalu kecil. Buruh harian di situ juga mendapatkan upah yang minim betul, hanya sembilan ribu rupiah per harinya. Semua uang yang mereka terima setiap bulan dari perusahaan, manalah cukup menutupi kebutuhan hidup, belum lagi biaya menjaga kesehatan atau berobat jika sakit.

Sewaktu mendengarkan keluhan Nelly, salah seorang warga yang bekerja di perusahaan yang juga menjadi koordinator buruh perempuan, soal bagaimana perusahaan menghargai keringat mereka, sulit menampik untuk membenarkan mereka mogok bekerja.
“Sepuluh tahun saya bekerja di PT. Arumbai, hanya pas membiayai makan-minum, tidak cukup untuk tabungan, apalagi membangun rumah yang baik.”
Rumahnya di seberang kali, atap dan dindingnya masih dari Sante atau Bambu.

"Masyarakat gantung periuk nasi di perusahaan. Dulu kami bisa hidup sehat dan panjang. Tetapi sejak perusahaan datang, sudah tidak bisa lagi."

Ada juga Melti yang baru dua tahun bekerja di PT AMB. Menurut Melti, buruh perempuan bekerja dengan fasilitas sangat minim dan beresiko. “Kami mendapat satu masker setiap tanggal 10, pembagian berikutnya tanggal 20. Begitu setiap bulannya. Artinya satu masker harus dipakai dalam 10 hari”, ujar Melti. Padahal setiap hari mereka memilah batuan mangan, yang tentunya akan menghirup debunya.

Mereka sendiri sebenarnya telah berkali-kali mengeluhkan hal itu dan menyampaikannya kepada perusahaan. Tapi perusahaan tidak menanggapinya, bahkan terkesan menghindar untuk membicarakannya.

Negosiasi selama empat jam mengakhiri aksi mogok itu. Sebulan waktu yang diberikan pada perusahaan untuk menjawab tuntutan tersebut. Tak semuanya dipenuhi, termasuk perubahan status buruh harian lepas menjadi tetap.
“Sejak itu, gaji kami naik,”

Tahun kemaren mereka bisa mendapatkan gaji hingga 22 ribu rupiah per hari, ada tambahan Rp 6.600 per jam jika lembur.

***

Hari Sabtu, biasanya buruh diliburkan. Di hari itu dinamit-dinamit dipasang, lalu diledakkan sehingga memecahkan batuan mangan. Suara ledakan yang berasal dari bukit dan gunung itu terus bersambung dari pagi sampai sore. Suara itu beserta guncangannya bisa dirasa oleh mereka yang tinggal di Reo, yang jaraknya 6 kilometer dari lokasi tambang. Kadang jika dibutuhkan, peledakan dilakukan pada hari kerja, senin dan rabu.

Ledakan biasanya disertai semburan debu. Setelah diledakkan, batuan dipindahkan ke atas truk-truk raksasa yang sanggup menggendong 15 ton batu mangan. Sewaktu truk melintasi jalan, getaran yang keras terasa, sambil meninggalkan debu-debu yang beterbangan.
Dari puncak gunung, batu mangan diangkut truk menuju Sirise. Di sana bebatuan itu akan diproses lagi. Turun dari truk, batuan dibor agar ukurannya lebih kecil. Lantas diletakkan di atas eskavator, alat ini mirip meja panjang yang berjalan. Disinilah buruh perempuan berdiri di kanan dan kiri eskavator, mengambil dan membuang batu gamping dan batu lainnya, memisahkannya dari bijih mangan. Pemisahan dilakukan hingga dua kali. Lalu, bijih mangan beraneka ukuran itu diangkut ke pelabuhan Sirise, ditimbun disana, sesuai ukuran yang sama, hingga jumlahnya mencukupi untuk diangkut tongkang ke luar negeri.

Debu-debu hitam yang berterbangan sejak penggalian, pengangkutan, hingga pemisahan bijih mangan inilah yang diprotes warga.

****
Sekitar 90% unsur mangan dunia digunakan untuk peleburan logam (metalurgi), proses produksi besi-baja. Sedang 10 persen sisanya antara lain untuk produksi baterai kering, keramik, gelas, dan kimia.

Dalam tubuh kita sendiri secara alami menggunakan mangan untuk metabolisme. Ion-ion mangan baik agar glukosa, atau zat gula, di dalam tubuh bisa bekerja. Tentu saja, ada batas tertentu yang bisa diterima tubuh kita sehingga mangan tetap bermanfaat. Jika berlebih banyak, ia sanggup merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker pada manusia, hewan dan tumbuhanmelalui rantai makanan (food chain).

Sementara di Sirise, warga disana sudah terlalu berlebihan mengonsumsi mangan karena kegiatan penambangan. Mangan itu masuk melalui udara yang mereka hirup, air yang mereka minum hingga nasi yang mereka makan.

Dalam suratnya kepada Komnas Perempuan, mereka melaporkan gangguan kesehatan yang baru mereka rasakan setelah tambang beroperasi. Mulai batuk pilek, susah tidur, gangguan sesak napas ringan hingga berat, batuk berdarah, dada bagian kiri sakit, diare berlendir dan berdarah - warga menyebutnya “keluar WC darah”. Bahkan ada balita yang mulai menderita tumor di kemaluannya.

Salah satunya, Tadeus Nasor, 55 tahun, yang mengeluarkan darah setiap kali ia batuk atau buang air besar. Nasor bekerja di PT Arumbai sejak tahun 1995 hingga sekarang. Ia sempat dirawat di RSUD Ruteng, sebelum dokter menyarankan berobat ke Kupang atau Denpasar. Sayang, Nasor dan keluarga terpaksa tak mengindahkan saran itu, tak cukup uang.

Penyakit yang sama juga diderita Inhol Jahudin. Di malam hari, mereka menjadi sulit tidur dengan nafas terasa sesak. Dan penyakit ini bukan saja menyerang laki-laki, perempuan pun tak luput. Rosalita Mita, 38 th, mengaku tersiksa dengan batuk kering, bagian dadanya terasa sakit, sesak nafas dan susah tidur di malam hari. Tetangganya, Ibu Maria - juga menderita serupa.

Tak ketinggalan pula anak-anak. Laweriana Yormika yang berumur 10 tahun, siswa kelas 3 Sekolah Dasar Luwuk, menderita sakit dada dan sesak nafas di malam hari. Noviana Adi juga begitu, menderita batuk keluar dahak bercampur darah dan sesak nafas, tiga tahun ia lebih tua dari Yormika. Dan terasa semakin miris rasanya sewaktu melihat Tian, lengkapnya ia bernama Kristiani Tian, umurnya baru 3 tahun 4 bulan, tetapi sudah menderita sesak nafas yang akut, dan tumor di kemaluannya.

“Meski sejak lama ada pertambangan di sini, manfaatnya tak ada. Warga tidak pernah mendapat pengobatan gratis. Jangankan Puskesmas, Puskesmas pembantu pun tak ada. Untuk berobat kami harus datang ke Reo atau Dampek, 12 km dari kampung ini,” kata Maria Mene.

Selain tujuh orang di atas, saat ini terdapat sebelas warga lainnya yang melaporkan masalah gangguan kesehatan serupa. Dan bisa dipastikan ini semacam puncak gunung dalam lautan, bagian terbesarnya masih belum terlihat.

“Kami pernah mengeluh tentang kami punya kehidupan untuk masa depan, tapi pihak perusahan tidak pernah menjawab keluhan kami. Menurut pihak perusahan itu bukan urusan mereka, tapi itu urusan pemerintah karena perusahan sudah bayar semuanya kepada pemerintah,” tambah Maria.

****

Dalam satu kali pengangkutan mangan keluar negeri, pemda Manggarai mendapatkan pemasukan Rp66,4 juta. Untuk jumlah tersebut, mereka rela mati-matian membela perusahaan.

Di media lokal - bulan Februari lalu, Kadis Pertambangan dan Energi Pemda Manggarai - Ir. Ngkeros Maksimus menyatakan “PT Arumbai selalu berusaha memenuhi dan memperhatikan kebutuhan warga. Misalnya dengan memberi dua unit jenset, menggali dua sumur, membuka jalan, mendirikan rumah gendang, kapela serta bantuan pukat untuk nelayan. Pihak perusahan selalu berusaha memenuhi kebutuhan warga.“ Disana, warga menyebut gereja kecil dengan nama kapela.

Pernyataan Ngkeros dibantah warga. “Kami tak pernah mendapat jenset, tak ada listrik di kampung kami, apalagi dibangunkan kapela. Kami harus pergi ke Reo untuk beribadah. Ada 6 keluarga menggunakan jenset milik pribadi
untuk listrik, sisanya menggunakan pelita minyak. Sumur sudah ada sebelum PT Arumbai masuk. Bantuan pukat memang ada. Tapi terpaksa kami terima karena ladang kami tak bisa ditanami, banyak warga yang beralih menjadi nelayan,” bantah Nelly.

Soal jalan, menurut warga PT Arumbai hanya merapikan jalan tanah berbatu kasar, selebar ukuran truk perusahaan. Sebenarnya PT Arumbai yang paling banyak menggunakan jalan itu menjadi jalan utama perusahaan dari lokasi penggalian menuju tempat pengolahan. Tak begitu banyak warga yang menggunakan jalan ini, tak ada kendaraan umum yang rutin melintas, sementara sedikit sekali yang memiliki kendaraan pribadi. Jangan berharap nyaman berjalan kaki dijalan ini, setiap kali ada truk melintas selalu menyisakan debu.

Air bersih? Sirise dan lingko Lolok telah bercerita tentang sumber air mereka yang tercemar mangan. Sementara di kampung tetangga – Luwuk, perempuan harus antri beberapa jam membawa jerigen dan timba, untuk bisa menampungi air yang mengalir pelan dari sebuah pipa. Tidak ada bak penampung air di situ. Mereka yang tidak sabar biasanya memilih bergegas ke mata air, dan untuk itu habislah beberapa jam waktu mereka.

Soal Pendidikan? Sekolah Dasar I Luwuk. Satu-satunya sekolah yang terdekat, 60 anak berasal dari Sirise dan Luwuk belajar di situ. Empat orang tenaga pengajar SD Luwuk dibayar melalui dana BOS. Sekolah ini dibangun pemerintah tahun 1982, tujuh tahun kemudian direhablitasi. Tambahan ruangan baru dibangun berturut-turut dari tahun 2002 dan 2007. Semuanya dana ditanggung pemerintah.

Tak ada rupiah dari perusahaan untuk memperbaiki bangunan sekolah itu. Tak ada sedikitpun bantuan untuk hadirnya buku-buku bermutu. Tak sedikitpun bantuan bagi guru-guru di sana untuk maju. PT Arumbai? Ya, secuilpun mereka tak pernah berniat ingin mencerdaskan anak-anak di sana, kecuali satu, menambang mangan.

Semakin sulit saya menemukan bukti jika pertambangan membawa kesejahteraan bagi orang-orang lokal, seperti yang dilaporkan anggota DPD NTT ini. Apa yang diperbuat perusahaan tambang persis politisi, menebar janji di awal, lalu mengingkarinya saat berkuasa.

Pertambangan membuka isolasi suatu wilayah sambil membawa peradaban baru yang lebih baik. Berbagai fasilitas publik akan dibangun, sekolah, air bersih, puskesmas bahkan perumahan, dan tempat hiburan. Begitu lagu lama yang selalu disampaikan pelaku pertambangan, diikuti koor ,“amin,” dari pemerintah dan kadang cerdik pandai kampus.

Kenyataan di kampung Sirise, lingko Lolok dan Luwuk - membuktikan
sebaliknya. Dan banyak di tempat lain juga begitu.

Penulis, Koordinator Nasional jaringan Advokasi Tambang dan Majlis Pertimbangan Organisasi Kappala Indonesia, diambil dari blog: www.bencanaekologis .blogspot. com.